Umat Islam
diajarkan untuk selalu berbaik sangka kepada siapa saja. Kepada Allah jangan
menyangka Ia tidak akan menerima taubatnya. Kepada Nabi dan Shahabat jangan
menyangka mereka telah berbuat kesalahan meskipun dalam lahirnya kita lihat
keliru. Kepada orang lain jangan menyangka telah menzhalimi dirinya. Bahkan
kepada diri sendiri pun kita diajarkan berbaik sangka bahwa kita akan terus dapat
melakukan kebaikan.
Demikian juga
setelah melakukan kesalahan, sebaiknya kita menyembunyikannya. Aib yang ada pada
diri kita, berupa perbuatan maksiat dan segala kekurangan kita, tidak
selayaknya kita ceritakan pada orang lain. Bukankah Allah telah menutup aib
kita dari orang lain? Kenapa justru kita sendiri yang menyebarluaskannya?
Dalam sebuah
hadits Rasulullah menyampaikan,
كُلُّ
أُمَّتِيْ مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِيْنَ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ
عَمَلًا ثُمَّ يُصْبِحُ وَقَدَ سَتَرَهُ اللهُ تَعَالَى فَيَقُوْلُ يَا فُلَانُ
عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ
يَكْشِفُ سِتْرَ اللهِ عَنْهُ
Seluruh umatku dimaafkan (dari kesalahan)
kecuali orang-orang yang terang-terangan, (yaitu) seorang lelaki yang melakukan
perbuatan (tercela) di malam hari. Lalu pada pagi harinya, dimana Allah telah
menutup (aib)nya, ia berkata, “Hai Fulan, tadi malam saya telah melakukan ini
dan ini.” Sesungguhnya Tuhannya telah menutupi (aib)nya di malam hari, tetapi
di pagi hari ia membuka tutup Allah tersebut.” (HR Bukhari Muslim)
Rasulullah
mengisyaratkan kepada kita bahwa seberapa besar aib dan dosa kita, masih
berpotensi dimaafkan oleh Allah. Lalu, bagaimana jika ada teman yang bertanya,
“Apakah kamu sudah pernah melakukan maksiat ini dan ini?”
Dan pada
kenyataannya, kita memang pernah melakukan maksiat yang dimaksud. Kalau dijawab
iya, berarti kita membuka aib kita sendiri. Kalau dijawab tidak, kita
berbohong.
Pada dasarnya
sebuah kesalahan dan aib (dosa) dalam Islam dibagi dua: kesalahan pada orang
lain (Hak Adami) dan kesalahan pada Allah (Hak Allah). Contohnya Hak Adami
mengumpat, memukul, melukai perasaan dan lainnya. Contoh Hak Allah murni
seperti tidak melakukan salat wajib, zakat, atau puasa.
Jika aib berupa
Hak Adami, kita harus mengusahakan hal yang paling maslahat, antara jujur
mengakui atau menutupi. Jika dengan mengaku, persoalan akan segera selesai,
maka lebih baik mengaku. Sebaliknya jika pengakuan akan menimbulkan
permasalahan baru, atau justru akan bertambah panjang, maka menutup aib adalah
jalan terbaik.
Jika aib itu
murni berkaitan dengan Hak Allah, kita tetap disunahkan menyembunyikannya. Sebab,
dikhawatirkan semakin banyak orang yang menceritakan sebuah kemaksiatan,
semakin banyak pula orang yang terinspirasi untuk menirunya. Bukankah manusia
merupakan makhluk peniru yang paling cerdas? []
Komentar
Posting Komentar