Langsung ke konten utama

“Pernahkah Kamu Melakukan Maksiat Ini?”


Umat Islam diajarkan untuk selalu berbaik sangka kepada siapa saja. Kepada Allah jangan menyangka Ia tidak akan menerima taubatnya. Kepada Nabi dan Shahabat jangan menyangka mereka telah berbuat kesalahan meskipun dalam lahirnya kita lihat keliru. Kepada orang lain jangan menyangka telah menzhalimi dirinya. Bahkan kepada diri sendiri pun kita diajarkan berbaik sangka bahwa kita akan terus dapat melakukan kebaikan.
Demikian juga setelah melakukan kesalahan, sebaiknya kita menyembunyikannya. Aib yang ada pada diri kita, berupa perbuatan maksiat dan segala kekurangan kita, tidak selayaknya kita ceritakan pada orang lain. Bukankah Allah telah menutup aib kita dari orang lain? Kenapa justru kita sendiri yang menyebarluaskannya?
Dalam sebuah hadits Rasulullah menyampaikan,
كُلُّ أُمَّتِيْ مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِيْنَ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا ثُمَّ يُصْبِحُ وَقَدَ سَتَرَهُ اللهُ تَعَالَى فَيَقُوْلُ يَا فُلَانُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللهِ عَنْهُ
Seluruh umatku dimaafkan (dari kesalahan) kecuali orang-orang yang terang-terangan, (yaitu) seorang lelaki yang melakukan perbuatan (tercela) di malam hari. Lalu pada pagi harinya, dimana Allah telah menutup (aib)nya, ia berkata, “Hai Fulan, tadi malam saya telah melakukan ini dan ini.” Sesungguhnya Tuhannya telah menutupi (aib)nya di malam hari, tetapi di pagi hari ia membuka tutup Allah tersebut.” (HR Bukhari Muslim)
Rasulullah mengisyaratkan kepada kita bahwa seberapa besar aib dan dosa kita, masih berpotensi dimaafkan oleh Allah. Lalu, bagaimana jika ada teman yang bertanya, “Apakah kamu sudah pernah melakukan maksiat ini dan ini?”
Dan pada kenyataannya, kita memang pernah melakukan maksiat yang dimaksud. Kalau dijawab iya, berarti kita membuka aib kita sendiri. Kalau dijawab tidak, kita berbohong.
Pada dasarnya sebuah kesalahan dan aib (dosa) dalam Islam dibagi dua: kesalahan pada orang lain (Hak Adami) dan kesalahan pada Allah (Hak Allah). Contohnya Hak Adami mengumpat, memukul, melukai perasaan dan lainnya. Contoh Hak Allah murni seperti tidak melakukan salat wajib, zakat, atau puasa.
Jika aib berupa Hak Adami, kita harus mengusahakan hal yang paling maslahat, antara jujur mengakui atau menutupi. Jika dengan mengaku, persoalan akan segera selesai, maka lebih baik mengaku. Sebaliknya jika pengakuan akan menimbulkan permasalahan baru, atau justru akan bertambah panjang, maka menutup aib adalah jalan terbaik.
Jika aib itu murni berkaitan dengan Hak Allah, kita tetap disunahkan menyembunyikannya. Sebab, dikhawatirkan semakin banyak orang yang menceritakan sebuah kemaksiatan, semakin banyak pula orang yang terinspirasi untuk menirunya. Bukankah manusia merupakan makhluk peniru yang paling cerdas? []


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengarang Kitab Dalailul Khairat, Syaikh Muhammad bin Sulaiman al-Jazuly

Latar Belakang dan Nasab Nama beliau adalah Abu Abdillah Muhammad Ibn Sulaiman al-Jazuliy al-Simlaliy al-Syarif al-Hasaniy. Merupakan keturunan Rasulullah ke-24 dari jalur Hasan bin Abi Thalib. Selengkapnya sanad beliau adalah Muhammad bin Abdurrahman bin Abu Bakr bin Sulaiman bin Sa'id bin Ya'la bin Yakhluf bin Musa bin 'Ali bin Yusuf bin 'Isa bin Abdullah bin Junduz bin Abdurrahman bin Ahmad bin Hassan bin Ismail bin Jakfar bin Abdillah bin al-Hasan III bin al-Hasan II bin al-Hasan I bin 'Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu. Beliau merupakan ulama sunni bermadzhab Maliki, seorang sufi dari thariqh Syadziliyyah. Kakeknya hijrah dari kota Fes ke Jazulah di wilayah Simlalah. Beliau hidup pada abad ke-9 Hijriah. Syaikh Sulaiman lahir di Jazulah, Propinsi Sus Massa Dra sekarang di Maroko, Pantai Barat Afrika. Masa kecilnya diisi dengan belajar ilmu di tanah kelahirannya sendiri. Kemudian ia melanjutkan pendidikan ke kota nenek moyangnya, Fes, yang merupa...

Cara Menghitung Umur Menggunakan Kalender Hijriyyah

Patokan yang digunakan dalam menghitung umur yaitu dengan menggunakan bulan qomariyyah/hijriyyah bukan menggunakan bulan masehi. Jadi untuk mengetahui umur dengan tahun  hijriyyah  kita harus mengetahui tanggal lahirnya dalam kalender  hijriyyah . Contoh, Nafis lahir pada tanggal 28 Ramadhan 1408 H. Berarti ia akan berumur 15 tahun pada tanggal 28 Ramadhan 1423 H. Namun banyak orang tidak mengetahui tanggal lahirnya menurut tahun  hijriyyah  karena dokumen resmi yang biasa digunakan menggunakan kalender masehi. Untuk kasus seperti ini, terdapat dua solusi. Pertama , kita perlu mengetahui selisih antara tahun qomariyyah dengan tahun masehi. Jumlah hari pada tahun qomariyyah yaitu 354 hari.   Sedangkan jumlah hari tahun masehi adalah 365 hari (kecuali pada tahun kabisat, berjumlah 366 hari, dan terjadi empat tahun sekali). Jadi selisih tahun masehi dengan  hijriyyah  11/12 hari per tahun. Maka 15 tahun  hijriyyah  = 15 tahun maseh...

Mengenal Syekh Mas'ud, Kawunganten Cilacap

Lahir Syekh Mas'ud lahir di Kawunganten Cilacap, pada tahun 1926 dari pasangan Muhyidin-Sangadah. Muhyidin adalah pendatang dari Purworejo Jawa Tengah yang menetap di Kawunganten sebagai petani sekaligus sebagai Kiai yang mengajarkan agama Islam. Usia kanak-kanak Syekh Mas’ud hidup bahagia dalam lingkungan keluarga besarnya. Ia menikmati masa kecilnya dengan belajar dan bermain bersama saudara-saudaranya. Dia dan saudara-saudaranya setiap malam habis maghrib belajar agama kepada ayahnya, Muhyidin. Mulai Menuntut Ilmu Pada umur 10 (sepuluh) tahun, Syekh Mas’ud dikirim ayahnya ke Desa Sarwadadi Kawunganten untuk belajar al-Qur’an kepada Kyai Hanafi, kurang lebih selama dua tahun. Kemudian meneruskan belajar ke Mojosari, Kebumen. Syekh Mas’ud tekun mempelajari dan menghafal Kitab Alfiyah Ibn Malik kepada kyai Badrudin selama empat tahun. Setelah dia selesai menghafalkan dan memahami Alfiyah dengan baik. Syekh Mas’ud melanjutkan belajar di Pondok Pesantren Al-Ikhsan Jam...