Wanita yang baru menikah seringkali dihadapkan pada
dilema. Satu sisi, sebagai istri ia wajib menghormati dan patuh kepada suami.
Di sisi lain, ia dididik dan dibesarkan oleh orang tuanya sedari kecil. Problem
ini seringkali mencuat saat orang tua menyuruh hal yang tidak dikehendaki oleh
suaminya. Lalu menurut pandangan syariat, seorang istri harus mendahulukan
kedua orang tuanya atau suaminya?
Seorang istri berkewajiban untuk lebih mendahulukan
hak suami dari pada orang tuanya jika tidak mungkin untuk menyelaraskan dua hal
ini. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyinggungnya dalam Majmu Fatawa:
وَلَيْسَ عَلَى
الْمَرْأَةِ بَعْدَ حَقِّ اللهِ وَرَسُوْلِهِ أَوْجَبَ مِنْ حَقِّ الزَّوْجِ
“Tidak ada hak yang lebih wajib untuk ditunaikan
seorang wanita –setelah hak Allah dan Rasul-Nya- daripada hak suami” (Majmu’
Al Fatawa, Juz 32 hal 260)
Lalu di bagian lain dalam kitab Majmu Fatawa (Juz
32 hal 261) Ibnu Taimiyyah juga mengatakan, “Seorang perempuan jika telah
menikah maka suami lebih berhak terhadap dirinya dibandingkan kedua orang
tuanya dan mentaati suami itu lebih wajib dari pada taat orang tua” .
Untuk lebih jelasnya simaklah di bawah ini beberapa
nash al-Quran dan al-Hadits berkaitan dengan masalah yang kita bahas.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَالصَّالِحَاتُ
قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللهُ
“Maka wanita yang shalihah adalah wanita yang taat
kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada (bepergian)
dikarenakan Allah telah memelihara mereka…” (An-Nisa’: 34)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
dalam haditsnya:
الدُّنْيَا مَتَاعٌ
وَخَيْرُ مَتَاعِهَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، إِذَا نَظَرْتَ إِلَيْهَا
سَرَّتْكَ، وَإِذَا أَمَرْتَهَا أَطَاعَتْكَ، وَإِذَا غِبْتَ عَنْهَا حَفِظَتْكَ
فِي نَفْسِهَا وَمَالِكَ
“Dunia ini adalah perhiasan dan sebaik-baik
perhiasannya adalah wanita yang shalihah. Bila engkau memandangnya, ia
menggembirakan (menyenangkan)mu. Bila engkau perintah, ia menaatimu. Dan bila
engkau bepergian meninggalkannya, ia menjaga dirinya (untukmu) dan menjaga
hartamu1.”
Dalam Shahih Ibnu Abi Hatim dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, ia berkata, RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا صَلَتِ
الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَصَنَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ
بَعْلَهَا، دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ
“Apabila seorang wanita mengerjakan shalat lima
waktunya, mengerjakan puasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan menaati
suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang ia inginkan.”
Dalam Sunan At-Tirmidzi dari Ummu Salamah radhiyallahu
‘anha, ia berkata, RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ
مَاتَتْ وَزَوْجُهَا رَاضٍ عَنْهَا دَخَلَتِ الْجَنَّةَ
“Wanita (istri) mana saja yang meninggal dalam
keadaan suaminya ridha kepadanya niscaya ia akan masuk surga.”
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لَوْ كُنْتُ آمِرًا
لِأَحَدٍ أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ
لِزَوْجِهَا
“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk
sujud kepada orang lain niscaya aku akan memerintahkan istri untuk sujud kepada
suaminya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan ia
berkata, “Hadits ini hasan.” Diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dan lafadznya:
لَأَمَرْتُ
النِّسَاءَ أَنْ يَسْجُدْنَ لِأَزْوَاجِهِنَّ، لِمَا جَعَلَ اللهُ عَلَيْهِنَّ
مِنَ الْحُقُوْقِ
“…niscaya aku perintahkan para istri untuk sujud
kepada suami mereka dikarenakan kewajiban-kewajiban sebagai istri yang Allah
bebankan atas mereka.”
Dalam Al-Musnad dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwasanya
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَصْلُحُ
لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ، وَلَوْ صَلَحَ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ
لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا مِنْ عِظَمِ حَقِّهِ عَلَيْهَا،
وَاَّلذِي نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَوْ كَانَ مِنْ قَدَمِهِ إِلَى مَفْرَقِ رَأْسِهِ
قَرْحَةً تَجْرِي بِالْقَيْحِ وَالصَّدِيْدِ، ثُمَّ اسْتَقْبَلَتْهُ فَلحسَتْهُ
مَا أَدّّتْ حَقَّهُ
“Tidaklah pantas bagi seorang manusia untuk sujud
kepada manusia yang lain. Seandainya pantas/boleh bagi seseorang untuk sujud
kepada seorang yang lain niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada
suaminya dikarenakan besarnya hak suaminya terhadapnya. Demi Zat yang jiwaku
berada di tangannya, seandainya pada telapak kaki sampai belahan rambut
suaminya ada luka/borok yang mengucurkan nanah bercampur darah, kemudian si
istri menghadap suaminya lalu menjilati luka/borok tersebut niscaya ia belum
purna menunaikan hak suaminya.”
Dalam Al-Musnad dan Sunan Ibni Majah, dari
Aisyah radhiyallahu ‘anha dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لَوْ أَمَرْتُ
أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ
لِزَوْجِهَا، وَلَوْ أَنَّ رَجُلاً أَمَرَ امْرَأَتَهُ أَنْ تَنْقُلَ مِنْ جَبَلٍ
أَحْمَرَ إِلَى جَبَلٍ أَسْوَدَ، وَمِنْ جَبَلٍ أَسْوَدَ إِلَى جَبَلٍ أَحْمَرَ
لَكاَنَ لَهَا أَنْ تَفْعَلَ
“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang
untuk sujud kepada seorang yang lain niscaya aku akan memerintahkan istri untuk
sujud kepada suaminya. Seandainya seorang suami memerintahkan istrinya untuk
pindah dari gunung merah menuju gunung hitam dan dari gunung hitam menuju
gunung merah maka si istri harus melakukannya.”
Demikian pula dalam Al-Musnad, Sunan Ibni Majah, dan Shahih
Ibni Hibban dari Abdullah ibnu Abi Aufa radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata:
لمَاَّ قَدِمَ
مُعَاذٌ مِنَ الشَّام ِسَجَدَ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: مَا هذَا
يَا مُعَاذُ؟ قَالَ: أَتَيْتُ الشَّامَ فَوَجَدْتُهُمْ يَسْجُدُوْنَ
لِأَسَاقِفَتِهِمْ وَبَطَارِقَتِهِمْ، فَوَدِدْتُ فِي نَفْسِي أَنْ تَفْعَلَ
ذَلِكَ بِكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ .فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: لاَ
تَفْعَلُوا ذَلِكَ، فَإِنِّي لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِغَيْرِ
اللهِ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا، وَالَّذِي نَفْسُ
مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ رَبِّهَا حَتَّى تُؤَدِّيَ
حَقَّ زَوْجِهَا، وَلَوْ سَأََلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَى قَتَبٍ لَمْ
تَمْنَعْهُ
Tatkala Mu’adz datang dari bepergiannya ke negeri
Syam, ia sujud kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka
beliau menegur Mu’adz, “Apa yang kau lakukan ini, wahai Mu’adz?”
Mu’adz menjawab, “Aku mendatangi Syam, aku dapati
mereka (penduduknya) sujud kepada uskup mereka. Maka aku berkeinginan dalam
hatiku untuk melakukannya kepadamu, wahai Rasulullah.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jangan engkau lakukan hal itu, karena sungguh andai aku boleh memerintahkan
seseorang untuk sujud kepada selain Allah niscaya aku perintahkan istri untuk
sujud kepada suaminya. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya,
seorang istri tidaklah menunaikan hak Rabbnya sampai ia menunaikan hak
suaminya. Seandainya suaminya meminta dirinya dalam keadaan ia berada di atas
pelana (hewan tunggangan) maka ia tidak boleh menolaknya.”
Dari Thalaq bin Ali, ia berkata, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَا رَجُلٍ
دَعَا زَوْجَتَهُ لِحَاجَتِهِ فَلْتَأْتِهِ وَلَوْ كَانَتْ عَلَى التَّنُّوْرِ
“Suami mana saja yang memanggil istrinya untuk
memenuhi hajatnya9 maka si istri harus/wajib mendatanginya (memenuhi
panggilannya) walaupun ia sedang memanggang roti di atas tungku api.”
Diriwayatkan oleh Abu Hatim dalam Shahih-nya dan
At-Tirmidzi, ia berkata, “Hadits ini hasan.”
Dalam kitab Shahih (Al-Bukhari) dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, ia berkata, RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا دَعَا
الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِيْءَ، فَبَاتَ غَضْبَانَ
عَلَيْهَا، لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Apabila
seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya, namun si istri menolak
untuk datang, lalu si suami bermalam (tidur) dalam keadaan marah kepada
istrinya tersebut, niscaya para malaikat melaknat si istri sampai ia berada di
pagi hari.”
Hadits-hadits dalam masalah ini banyak sekali dari
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Suami adalah tuan (bagi istrinya) sebagaimana tersebut dalam Kitabullah.” Lalu
ia membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَأَلْفَيَا
سَيِّدَهَا لَدَى الْبَابِ
“Dan keduanya mendapati sayyid (suami) si wanita di
depan pintu.” (Yusuf: 25)
Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Nikah itu adalah perbudakan. Maka hendaklah salah seorang dari kalian
melihat/memerhatikan kepada siapa ia memperbudakkan anak perempuannya.”
Dalam riwayat At-Tirmidzi dan selainnya dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
اسْتَوْصُوا
بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّمَا هُنَّ عِنْدَكُمْ عَوَانٌ
“Berwasiat kebaikanlah kalian kepada para
wanita/istri karena mereka itu hanyalah tawanan di sisi kalian.”
Dengan demikian seorang istri di sisi suaminya
diserupakan dengan budak dan tawanan. Ia tidak boleh keluar dari rumah suaminya
kecuali dengan izin suaminya baik ayahnya yang memerintahkannya untuk keluar,
ataukah ibunya, atau selain kedua orangtuanya, menurut kesepakatan para imam.
Apabila seorang suami ingin membawa istrinya pindah ke
tempat lain di mana sang suami menunaikan apa yang wajib baginya dan menjaga
batasan/hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam perkara
istrinya, sementara ayah si istri melarang si istri tersebut untuk
menuruti/menaati suami pindah ke tempat lain, maka si istri wajib menaati
suaminya, bukannya menuruti kedua orangtuanya. Karena kedua orangtuanya telah
berbuat zalim. Tidak sepantasnya keduanya melarang si wanita untuk menaati
suaminya.
Tidak boleh pula bagi si wanita menaati ibunya bila si
ibu memerintahnya untuk minta khulu’ kepada suaminya atau
membuat suaminya bosan/jemu hingga suaminya menceraikannya. Misalnya dengan
menuntut suaminya agar memberi nafkah dan pakaian (melebihi kemampuan suami)
dan meminta mahar yang berlebihan13, dengan tujuan agar si suami
menceraikannya. Tidak boleh bagi si wanita untuk menaati salah satu dari kedua
orangtuanya agar meminta cerai kepada suaminya, bila ternyata suaminya seorang
yang bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam urusan
istrinya. Dalam kitab Sunan yang empat dan Shahih Ibnu Abi Hatim dari Tsauban
radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ
سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلاَقَ مِنْ غَيْرِ مَا بَأْس َفَحَرَامٌ عَلَيْهَا
رَائِحَةُ الْجَنَّةِ
“Wanita mana yang meminta cerai kepada suaminya
tanpa ada apa-apa15 maka haram baginya mencium wanginya surga.”
Dalam hadits yang lain:
الْمُخْتَلِعَاتُ
وَالْمُنْتَزِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ
“Istri-istri
yang minta khulu’ dan mencabut diri (dari pernikahan) mereka itu wanita-wanita
munafik.”18
Adapun bila kedua orangtuanya atau salah satu dari
keduanya memerintahkannya dalam perkara yang merupakan ketaatan kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala, misalnya ia diperintah untuk menjaga
shalatnya, jujur dalam berucap, menunaikan amanah dan melarangnya dari
membuang-buang harta dan bersikap boros serta yang semisalnya dari perkara yang
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu
‘alaihi wa sallamperintahkan atau yang dilarang oleh Allah Subhanahu
wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
dikerjakan, maka wajib baginya untuk menaati keduanya dalam perkara tersebut.
Seandainya pun yang menyuruh dia untuk melakukan ketaatan itu bukan kedua
orangtuanya maka ia harus taat. Apalagi bila perintah tersebut dari kedua
orangtuanya.
Apabila suaminya melarangnya dari mengerjakan apa yang
Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan atau sebaliknya menyuruh dia mengerjakan
perbuatan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala larang maka tidak ada kewajiban
baginya untuk taat kepada suaminya dalam perkara tersebut. Karena Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّهُ لاَ
طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat
kepada Khaliq.”
Bahkan seorang tuan (ataupun raja) andai memerintahkan
budaknya (ataupun rakyatnya/orang yang dipimpinnya) dalam perkara maksiat
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak boleh bagi budak tersebut
menaati tuannya dalam perkara maksiat. Lalu bagaimana mungkin dibolehkan bagi
seorang istri menaati suaminya atau salah satu dari kedua orangtuanya dalam
perkara maksiat? Karena kebaikan itu seluruhnya dalam menaati Allah Subhanahu
wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sebaliknya kejelekan itu seluruhnya dalam bermaksiat kepada Allah dan
Rasul-Nya.” (Majmu’ Fatawa, 16/381-383).
Komentar
Posting Komentar