Langsung ke konten utama

Apa Yang Kau Dapatkan Setelah Nyantri Puluhan Tahun?


Hatim al-Asham telah belajar selama tidak kurang dari 30 tahun di hadapan gurunya Syaqiq dari Balkh (Afghanistan sekarang). Sebuah waktu belajar yang amat panjang. Tidak terpikir bagi kita ilmu apa saja yang telah ia dapatkan dari gurunya. Adakah sekarang orang yang belajar dari gurunya selama 30 tahun. Hmm… jangankan kepada satu guru, di sekolah atau di pesantren satu saja selama lebih dari sepuluh tahun amat jarang sekali ditemui. Maka tidaklah heran kalau salah satu masyayikh Tegalrejo pernah mengemukakan bahwa santri sekarang yang mampu mondok sampai sepuluh tahun akan beliau acungi jempol.
Namun memang berapapun lama kita belajar, mondok atau sekolah perlu terus kita koreksi diri dan introspeksi: apa ilmu yang kita dapat kan dalam waktu tersebut untuk kebaikan di dunia dan akhirat kita?
Itulah yang terjadi pada Hatim. Ia ditanya oleh Syaqiq Sang Guru, “Berapa lama kamu nyantri kepadaku?”
Hatim menjawab: “Sudah sejak 30 tahun.”
Syaqiq bertanya lagi: “Apa yang kamu pelajari dariku selama itu?”
Hatim menjawab: “Ada delapan perkara…”
Syaqiq berkata: “Innaa lillahi wa innaa ilayhi raji’un. Kau habiskan umurmu bersamaku selama itu, dan kamu tidak belajar kecuali delapan perkara?!”
Hatim menjawab: “Guru, aku tidak belajar selainnya. Sungguh, aku tidak berbohong!”
Syaqiq kemudian berkata lagi: “Coba jelaskan kepadaku apa yang sudah kamu pelajari…”
Lantas Hatim menjelaskan delapan hal tersebut dengan runtut.
Pertama, saya memperhatikan manusia, dan saya lihat masing-masing mereka menyukai kekasihnya. Namun kekasihnya hanya menemani sampai menjelang ajalnya, atau hanya di pinggir kubur. Ketika dia sudah sampai di kuburnya, kekasihnya justru berpaling darinya, tidak ada satupun kekasih yang menemani dan menghiburnya dalam kubur. Maka, saya kemudian menjadikan amal kebaikan sebagai kekasih saya, sehingga apabila saya meninggal dan masuk ke liang kubur, dia akan ikut bersama saya.
“Bagus Hatim. Sekarang apa yang kedua?”
Kedua, saya memperhatikan firman Allah Ta’ala:
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الهَوَى فَإِنَّ الجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى
"Dan adapun orang yang takut pada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya)." (QS an-Nazi’at [79]: 40-41)
Saya meyakini bahwa firman Allah-lah yang benar. Karena itu saya meneguhkan diri saya dalam menolak hawa nafsu, hingga saya mampu menetapi ketaatan kepada Allah Ta’ala.
Ketiga, saya memperhatikan manusia, dan saya amati masing-masing memiliki sesuatu yang berharga, yang dia menjaganya agar barang tersebut tidak hilang. Kemudian saya membaca firman Allah Ta’ala:
مَا عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ وَمَا عِنْدَ اللهِ بَاقٍ
"Apa yang ada di sisimu akan lenyap dan apa yang ada di sisi Allah kekal." (QS an-Nahl [16]: 96)
Dari situ, apabila saya memiliki sesuatu yang berharga, maka segera saja saya titipkan kepada Allah, agar milikku terjaga bersamaNya tidak hilang.
Keempat, saya memperhatikan manusia dan saya ketahui masing-masing mereka membanggakan harta, kemuliaan leluhur, pangkat dan nasabnya. Kemudian saya membaca firman Allah Ta’ala:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ
"Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian." (QS al-Hujurat [49]: 13)
Maka saya bertakwa, agar menjadikan saya mulia di sisi Allah Ta’ala.
Kelima, saya memperhatikan manusia, dan (saya tahu) mereka mencela dan mencaci antara satu dengan yang lainnya. Saya tahu masalah utamanya di sini adalah sifat iri hati. Lantas saya membaca firman Allah Ta’ala:
نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيْشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
"Kami telah menentukan pembagian nafkah hidup di antara mereka dalam kehidupan dunia." [QS az-Zukhruf (43): 32]
Maka saya kemudian menanggalkan sifat iri hati dan menghindar dari manusia, karena saya tahu bahwa pembagian rizki itu benar-benar dari Allah Ta’ala, yang menjadikanku tidak patut memusuhi dan iri kepada orang lain.
Keenam, saya memperhatikan mereka saling menganiaya dan memerangi antara satu dengan yang lainnya. Kemudian saya melihat firman Allah Ta’ala:
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوْهُ عَدُوًّا
(Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagi kalian, maka anggaplah ia musuh (kalian).) [QS Fatir (35): 6]
Maka kemudian saya menghindari permusuhan dengan orang lain. Sebaliknya saya berusaha fokus dan penuh waspada dalam menghadapi permusuhan dengan syaitan.
Ketujuh, saya memperhatikan manusia, maka saya lihat masing-masing menghinakan diri mereka sendiri dalam mencari rizki. Bahkan ada di antara mereka yang berani menerjang hal-hal yang tidak halal. Saya kemudian melihat kepada firman Allah Ta’ala:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللهِ رِزْقُهَا
(Dan tidak ada satu binatang melata pun di bumi ini melainkan Allah-lah yang menanggung rizkinya) [Qur’an Surat Hud (11): 6]
Saya kemudian menyadari bahwa saya adalah salah satu dari binatang yang Allah telah menanggung rizkinya. Maka saya kemudian menyibukkan dengan apa yang telah Allah anugerahkan kepadaku, dan sebaliknya saya meninggalkan apa-apa yang tidak dibagikan kepadaku.
Kedelapan, saya memperhatikan manusia, dan saya lihat masing-masing mereka menyerahkan diri dan mengandalkan kepada makhluk lain seumpamanya. Sebagian karena sawah ladangnya, sebagian karena perniagaannya, sebagian karena hasil karya produksinya, dan sebagian lain karena kesehatan badannya. Maka saya melihat kepada firman Allah Ta’ala:
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
(Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah niscaya Ia akan mencukupi (keperluan)-nya.) [Qur’an Surat al-Thalaq (65): 3]
Maka saya kemudian menyerahkan diri dan mengandalkan semuanya kepada Allah Ta’ala, karena Dia akan mencukupi segala keperluanku.
Mendengar pernyataan-pernyataan Hatim, sang guru yaitu Imam Syaqiq al-Balkhi mendoakan dan memuji muridnya: “Semoga Allah memberi pertolongan kepadamu. Sungguh aku telah membaca isi Kitab Suci Taurat, Injil, Zabur, dan al-Quran. Saya menyimpulkan isi kandungan dari keempat kitab tersebut berkisar diantara empat hal yang telah kau sebutkan itu. Karenanya, siapa yang mengamalkan delapan hal ini, sama saja ia telah mengamalkan Empat Kitab Suci”. []

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengarang Kitab Dalailul Khairat, Syaikh Muhammad bin Sulaiman al-Jazuly

Latar Belakang dan Nasab Nama beliau adalah Abu Abdillah Muhammad Ibn Sulaiman al-Jazuliy al-Simlaliy al-Syarif al-Hasaniy. Merupakan keturunan Rasulullah ke-24 dari jalur Hasan bin Abi Thalib. Selengkapnya sanad beliau adalah Muhammad bin Abdurrahman bin Abu Bakr bin Sulaiman bin Sa'id bin Ya'la bin Yakhluf bin Musa bin 'Ali bin Yusuf bin 'Isa bin Abdullah bin Junduz bin Abdurrahman bin Ahmad bin Hassan bin Ismail bin Jakfar bin Abdillah bin al-Hasan III bin al-Hasan II bin al-Hasan I bin 'Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu. Beliau merupakan ulama sunni bermadzhab Maliki, seorang sufi dari thariqh Syadziliyyah. Kakeknya hijrah dari kota Fes ke Jazulah di wilayah Simlalah. Beliau hidup pada abad ke-9 Hijriah. Syaikh Sulaiman lahir di Jazulah, Propinsi Sus Massa Dra sekarang di Maroko, Pantai Barat Afrika. Masa kecilnya diisi dengan belajar ilmu di tanah kelahirannya sendiri. Kemudian ia melanjutkan pendidikan ke kota nenek moyangnya, Fes, yang merupa...

Cara Menghitung Umur Menggunakan Kalender Hijriyyah

Patokan yang digunakan dalam menghitung umur yaitu dengan menggunakan bulan qomariyyah/hijriyyah bukan menggunakan bulan masehi. Jadi untuk mengetahui umur dengan tahun  hijriyyah  kita harus mengetahui tanggal lahirnya dalam kalender  hijriyyah . Contoh, Nafis lahir pada tanggal 28 Ramadhan 1408 H. Berarti ia akan berumur 15 tahun pada tanggal 28 Ramadhan 1423 H. Namun banyak orang tidak mengetahui tanggal lahirnya menurut tahun  hijriyyah  karena dokumen resmi yang biasa digunakan menggunakan kalender masehi. Untuk kasus seperti ini, terdapat dua solusi. Pertama , kita perlu mengetahui selisih antara tahun qomariyyah dengan tahun masehi. Jumlah hari pada tahun qomariyyah yaitu 354 hari.   Sedangkan jumlah hari tahun masehi adalah 365 hari (kecuali pada tahun kabisat, berjumlah 366 hari, dan terjadi empat tahun sekali). Jadi selisih tahun masehi dengan  hijriyyah  11/12 hari per tahun. Maka 15 tahun  hijriyyah  = 15 tahun maseh...

Mengenal Syekh Mas'ud, Kawunganten Cilacap

Lahir Syekh Mas'ud lahir di Kawunganten Cilacap, pada tahun 1926 dari pasangan Muhyidin-Sangadah. Muhyidin adalah pendatang dari Purworejo Jawa Tengah yang menetap di Kawunganten sebagai petani sekaligus sebagai Kiai yang mengajarkan agama Islam. Usia kanak-kanak Syekh Mas’ud hidup bahagia dalam lingkungan keluarga besarnya. Ia menikmati masa kecilnya dengan belajar dan bermain bersama saudara-saudaranya. Dia dan saudara-saudaranya setiap malam habis maghrib belajar agama kepada ayahnya, Muhyidin. Mulai Menuntut Ilmu Pada umur 10 (sepuluh) tahun, Syekh Mas’ud dikirim ayahnya ke Desa Sarwadadi Kawunganten untuk belajar al-Qur’an kepada Kyai Hanafi, kurang lebih selama dua tahun. Kemudian meneruskan belajar ke Mojosari, Kebumen. Syekh Mas’ud tekun mempelajari dan menghafal Kitab Alfiyah Ibn Malik kepada kyai Badrudin selama empat tahun. Setelah dia selesai menghafalkan dan memahami Alfiyah dengan baik. Syekh Mas’ud melanjutkan belajar di Pondok Pesantren Al-Ikhsan Jam...