Langsung ke konten utama

Menjawab Argumen Muhammadiyah dalam Berpegang Kepada Hisab

Perbedaan yang muncul antara Muhammadiyyah dan Pemerintah (dan juga NU) bermula dari pijakan yang berbeda dalam memakai dalil. Muhammadiyyah terlihat masih terlalu mudah memakai dalil-dalil yang bersifat global untuk diaplikasikan dalam ibadah yang tentunya biersifat khusus, puasa dan Idul Fitri.
Berikut beberapa alasan Muhammadiyyah sekaligus kita counter balik.
Alasan pertama, semangat Al Qur’an adalah menggunakan hisab. Hal ini ada dalam ayat الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ“Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan” (QS. Ar-Rahman [55] :5). Ayat ini bukan sekedar menginformasikan bahwa matahari dan bulan beredar dengan hukum yang pasti sehingga dapat dihitung atau diprediksi, tetapi juga dorongan untuk menghitungnya karena banyak kegunaannya. Dalam QS. Yunus (10) ayat 5 disebutkan bahwa kegunaannya untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُوْرًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوْا عَدَدَ السِّنِيْنَ وَالْحِسَابِ
Kita jawab, bahwa ayat diatas masih terlalu global untuk mendasari keharusan memakai hisab dalam menentukan awal bulan Ramadhan dan Syawal. Kalau sebuah spirit sudah mencukupi untuk dijadikan dalil, maka kalau kita temukan ayat al-Quran فَاقْتُلُوْهُمْ maka berarti spirit al-Quran adalah membunuh, lalu kitapun booleh membunuh non-muslim semau kita. Indonesia hancur, dong!
Mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu yang termaktub disini ditakhsis dengan hadits ubudiyyah bahwa permulaan puasa harus menggunakan rukyat.
Alasan Kedua, jika spirit Qur’an adalah hisab, mengapa Rasulullah Saw menggunakan rukyat? Menurut Rasyid Ridha dan Mustafa Az-Zarqa, perintah melakukan rukyat adalah perintah ber-‘illat (beralasan). ‘Illat perintah rukyat adalah karena ummat zaman Nabi Saw adalah ummat yang ummi, tidak kenal baca tulis dan tidak memungkinkan melakukan hisab. Ini ditegaskan oleh Rasulullah Saw dalam hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim, “Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Yakni kadang-kadang dua puluh sembilan hari dan kadang-kadang tiga puluh hari.”
Dalam kaidah fiqhiyah, hukum berlaku menurut ada atau tidak adanya ilat. Jika ada ilat, yaitu kondisi ummi sehingga tidak ada yang dapat melakukan hisab, maka berlaku perintah rukyat. Sedangkan jika ilat tidak ada (sudah ada ahli hisab), maka perintah rukyat tidak berlaku lagi. Yusuf Al Qardawi menyebut bahwa rukyat bukan tujuan pada dirinya, melainkan hanyalah sarana. Muhammad Syakir, ahli hadits dari Mesir yang oleh Al Qaradawi disebut seorang salafi murni, menegaskan bahwa menggunakan hisab untuk menentukan bulan Qamariah adalah wajib dalam semua keadaan, kecuali di tempat di mana tidak ada orang mengetahui hisab.
Kita jawab. Pendapat Rasyid Ridha dan Mustafa az-Zarqa tersebut keluar dari pendapat mainstream ulama dari masa ke masa. Dalam Hadits Riwayat Bukhari, kita diharuskan mengikuti jamaah agar selamat. Ulama dari zaman Sahabat, sampai dewasa ini rukyat. Seluruh negara muslim dewasa ini menggunakan hisab untuk penentuan awal Ramadhan. Bahkan di Mesir, tempat Rasyid Ridha mendapat ilmu, dari dulu sampai sekarang, memakai rukyat. Di sana, meski kelompok al-Ikhwanul Muslimun bermusuhan dengan pemerintahnya, tetapi ketika pemerintah menetapkan awal Ramadhan dan Lebaran dengan rukyat, semuanya ikut tanpa terkecuali. Di Saudi, banyak kelompok yang mengkafirkan raja dan pemerintah, akibatnya mereka dikejar-kejar pemerintah Saudi. Tetapi saat pemerintah Saudi mengumumkan awal Ramadhan dan Lebaran dengan rukyat, semua kelompok itu tunduk dan setia.
Hadits diatas dijelaskan panjang lebar oleh al-Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani, dalam Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari, nomor hadits 1814.
حدثنا آدم حدثنا شعبة حدثنا الأسود بن قيس حدثنا سعيد بن عمرو أنه سمع ابن عمر رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال إنا أمة أمية لا نكتب ولا نحسب الشهر هكذا وهكذا يعني مرة تسعة وعشرين ومرة ثلاثين
الشرح: ( لا نكتب ولا نحسب ) تفسير لكونهم كذلك ، وقيل للعرب : أميون ؛ لأن الكتابة كانت فيهم عزيزة . قال الله تعالى : هو الذي بعث في الأميين رسولا منهم ولا يرد على ذلك أنه كان فيهم من يكتب ويحسب ؛ لأن الكتابة كانت فيهم قليلة نادرة ، والمراد بالحساب هنا حساب النجوم وتسييرها ، ولم يكونوا يعرفون من ذلك أيضا إلا النزر اليسير، فعلق الحكم بالصوم وغيره بالرؤية لرفع الحرج عنهم في معاناة حساب التسيير واستمر الحكم في الصوم ولو حدث بعدهم من يعرف ذلك ، بل ظاهر السياق يشعر بنفي تعليق الحكم بالحساب أصلا ، ويوضحه قوله في الحديث الماضي : فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين ولم يقل : فسلوا أهل الحساب ، والحكمة فيه كون العدد عند الإغماء يستوي فيه المكلفون فيرتفع الاختلاف والنزاع عنهم. قال الباجي : وإجماع السلف الصالح حجة عليهم. (صحيح البخاري/1814)
“Bangsa Arab sebenarnya di zaman Nabi saw sudah mengetahui ilmu perbintangan, meskipun sedikit. Penetapan awal Ramadhan di zaman Nabi SAW menggunakan rukyat agar orang tidak mendapatkan dosa karena berbeda dengan hisab. Namun, meskipun setelah itu ada orang yang mengetahui ilmu falak, rukyat teta tidak ditinggalkan. Runtutan hadits secara lahiriah menunjukkan sama sekali tidak ada hubungan penentuan hukum dengan memakai hisab. Tentunya ini berkaitan dengan hadits lain yang mengharuskan hitungan bulan digenapkan 30 hari jika kondisi mendung.
فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين
Jika memakai hisab lebih diunggulkan, seharusnya hadits trakhir ini ditambah, “Jika kamu tertutupi (dari melihat hilal)/mendung, maka tanyalah ahli hisab.” Akan tetapi Nabi SAW tidak pernah mengatakan seperti itu.
 Ketiga, dengan rukyat umat Islam tidak bisa membuat kalender. Rukyat tidak dapat meramal tanggal jauh ke depan karena tanggal baru bisa diketahui pada H-1. Dr. Nidhal Guessoum menyebut suatu ironi besar bahwa umat Islam hingga kini tidak mempunyai sistem penanggalan terpadu yang jelas. Padahal 6000 tahun lampau di kalangan bangsa Sumeria telah terdapat suatu sistem kalender yang terstruktur dengan baik.
Kita: Alasan ini lebih jauh lagi. Pembuatan kalender dengan penentuan awal Ramadhan sama sekali tidak ada sangkut-pautnya. Tidak ada yang melarang pembuatan kalender menggunakan hisab. Hal ini sudah dipraktekkan sejak lama. Tetapi dalam masalah ibadah, awal puasa dan lebaran, kita punya pedoman sendiri, rukyat. Sebuah pedoman yang bernilai sangat tinggi, tidak akan terlampaui oleh sindiran seorang peneliti muslim modern bernama Dr. Nidhal Guessoum.
Alasan Keempat, rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara global. Sebaliknya, rukyat memaksa umat Islam berbeda memulai awal bulan Qamariah, termasuk bulan-bulan ibadah. Hal ini karena rukyat pada visibilitas pertama tidak mengcover seluruh muka bumi. Pada hari yang sama ada muka bumi yang dapat merukyat tetapi ada muka bumi lain yang tidak dapat merukyat.  Kawasan bumi di atas lintang utara 60 derajat dan di bawah lintang selatan 60 derajat adalah kawasan tidak normal, dimana tidak dapat melihat hilal untuk beberapa waktu lamanya atau terlambat dapat melihatnya, yaitu ketika bulan telah besar. Apalagi kawasan lingkaran Artik dan lingkaran Antartika yang siang pada musim panas melebihi 24 jam dan malam pada musim dingin melebihi 24 jam.
Kita: Dalam mazhab Asy-Syafi'iyah, perbedaan hasil rukyat seperti ini dibenarkan. Alasannya karena secara logika dan ilmu astronomi tidak mungkin dihindarkan, mengingat luasnya bentangan negeri-negeri Islam. Dan yang lebih penting lagi, ternyata perbedaan penetapan awal Ramadhan sudah terjadi sejak zaman para shahabat.
Perbedaan itu bisa terjadi bila antara pemerintah negara-negara Islam yang posisinya saling berjauhan. Dalam mazhab Asy-Syafi'i disebutkan minimal keduanya berjarak 24 farsakh. Dan ini dibenarkan keduanya secara syar'i. Oleh karena itu, malam ganjil di Saudi dan di Mesir seringkali berbeda sepanjang 14 abad ini, bahkan Idul Fithrinya pun juga berbeda.
Kita tidak bisa memaksakan kesamaan awal puasa seluruh dunia karena posisi tiap negara yang berbeda. Bukankah waktu shalat kita berbeda-beda, bahkan dalam satu propinsi. Apakah kita juga akan menyamakan waktu shalat seluruh dunia agar 1 milyar umat Islam sujud serempak dengan shalat yang sama?
Kelima, jangkauan rukyat terbatas, dimana hanya bisa diberlakukan ke arah timur sejauh 10 jam. Orang di sebelah timur tidak mungkin menunggu rukyat di kawasan sebelah barat yang jaraknya lebih dari 10 jam. Akibatnya, rukyat fisik tidak dapat menyatukan awal bulan Qamariah di seluruh dunia karena keterbatasan jangkauannya. Memang, ulama zaman tengah menyatakan bahwa apabila terjadi rukyat di suatu tempat maka rukyat itu berlaku untuk seluruh muka bumi. Namun, jelas pandangan ini bertentangan dengan fakta astronomis, di zaman sekarang saat ilmu astronomi telah mengalami kemajuan pesat jelas pendapat semacam ini tidak dapat dipertahankan.
Keenam, rukyat menimbulkan masalah pelaksanaan puasa Arafah. Bisa terjadi di Makkah belum terjadi rukyat sementara di kawasan sebelah barat sudah, atau di Makkah sudah rukyat tetapi di kawasan sebelah timur belum. Sehingga bisa terjadi kawasan lain berbeda satu hari dengan Makkah dalam memasuki awal bulan Qamariah. Masalahnya, hal ini dapat menyebabkan kawasan ujung barat bumi tidak dapat melaksanakan puasa Arafah karena wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan hari Idul Adha di ujung barat itu. Kalau kawasan barat itu menunda masuk bulan Zulhijjah demi menunggu Makkah padahal hilal sudah terpampang di ufuk mereka, ini akan membuat sistem kalender menjadi kacau balau.
Sekali lagi, argumen-argumen ini mengarahkan kita  agar waktu ibadah umat muslim di seluruh dunia harus sama. Ini suatu hal yang tidak mungkin, dan tidak perlu.
Kebanykan dalil-dalil hisab diatas masih global, dikaitkan denga ushul fiqh yang masih samar-samar, dan menukil pemikir Islam modern yang belum teruji kadar keulamaannya. Oleh karena itu seyogyanya kita tetap mengikuti pemerintah yang berdasarkan rukyat, sesuai yang disinggung Rasulullah dalam haditsnya,
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم صوموا لرؤيته وافطروا لرؤيتة فإن غبي عليكم فاكملوا عدة شعبان ثلاثين (رواه البخاري(
Rasulullah Saw bersabda “Berpuasalah dengan melihat hilal dan berbuka (berhariraya)lah dengan melihatnya pula. Jika (hilal)terhalang (awan) hingga kalian tidak dapat melihatnya, maka genapkanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari” (HR. al-Bukhari)
عن بن عمر رضي الله عنهما أنَّ رسول الله صلى الله عليه وسلم ذكر رمضان فضرب بيده فقال الشهر هكذا وهكذا ثم عقد إبهامه في الثالثة فصوموا لرؤيته وافطروا لرؤيتة فإن أُغْمي عليكم فاقدروا له ثلاثين (رواه مسلم(
Dari Ibn Umar ra, sesungguhnya Rasulallah Saw menceritakan Ramadhan, kemudian memukulkan tangannya, kemudian bersabda “Sebulan itu adalah sekian dan sekian, kemudian beliau melengkungkan ibu jarinya pada perkataan yang ketiga, maka berpuasalah kamu karena melihat hilal, dan berbukalah (mengakhiri puasa) kamu karena melihat hilal. Jika hilal tertutup oleh awan, maka pastikanlah bilangan hari pada bulan itu lamanya menjadi 30 hari” (HR. Muslim).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengarang Kitab Dalailul Khairat, Syaikh Muhammad bin Sulaiman al-Jazuly

Latar Belakang dan Nasab Nama beliau adalah Abu Abdillah Muhammad Ibn Sulaiman al-Jazuliy al-Simlaliy al-Syarif al-Hasaniy. Merupakan keturunan Rasulullah ke-24 dari jalur Hasan bin Abi Thalib. Selengkapnya sanad beliau adalah Muhammad bin Abdurrahman bin Abu Bakr bin Sulaiman bin Sa'id bin Ya'la bin Yakhluf bin Musa bin 'Ali bin Yusuf bin 'Isa bin Abdullah bin Junduz bin Abdurrahman bin Ahmad bin Hassan bin Ismail bin Jakfar bin Abdillah bin al-Hasan III bin al-Hasan II bin al-Hasan I bin 'Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu. Beliau merupakan ulama sunni bermadzhab Maliki, seorang sufi dari thariqh Syadziliyyah. Kakeknya hijrah dari kota Fes ke Jazulah di wilayah Simlalah. Beliau hidup pada abad ke-9 Hijriah. Syaikh Sulaiman lahir di Jazulah, Propinsi Sus Massa Dra sekarang di Maroko, Pantai Barat Afrika. Masa kecilnya diisi dengan belajar ilmu di tanah kelahirannya sendiri. Kemudian ia melanjutkan pendidikan ke kota nenek moyangnya, Fes, yang merupa...

Cara Menghitung Umur Menggunakan Kalender Hijriyyah

Patokan yang digunakan dalam menghitung umur yaitu dengan menggunakan bulan qomariyyah/hijriyyah bukan menggunakan bulan masehi. Jadi untuk mengetahui umur dengan tahun  hijriyyah  kita harus mengetahui tanggal lahirnya dalam kalender  hijriyyah . Contoh, Nafis lahir pada tanggal 28 Ramadhan 1408 H. Berarti ia akan berumur 15 tahun pada tanggal 28 Ramadhan 1423 H. Namun banyak orang tidak mengetahui tanggal lahirnya menurut tahun  hijriyyah  karena dokumen resmi yang biasa digunakan menggunakan kalender masehi. Untuk kasus seperti ini, terdapat dua solusi. Pertama , kita perlu mengetahui selisih antara tahun qomariyyah dengan tahun masehi. Jumlah hari pada tahun qomariyyah yaitu 354 hari.   Sedangkan jumlah hari tahun masehi adalah 365 hari (kecuali pada tahun kabisat, berjumlah 366 hari, dan terjadi empat tahun sekali). Jadi selisih tahun masehi dengan  hijriyyah  11/12 hari per tahun. Maka 15 tahun  hijriyyah  = 15 tahun maseh...

Mengenal Syekh Mas'ud, Kawunganten Cilacap

Lahir Syekh Mas'ud lahir di Kawunganten Cilacap, pada tahun 1926 dari pasangan Muhyidin-Sangadah. Muhyidin adalah pendatang dari Purworejo Jawa Tengah yang menetap di Kawunganten sebagai petani sekaligus sebagai Kiai yang mengajarkan agama Islam. Usia kanak-kanak Syekh Mas’ud hidup bahagia dalam lingkungan keluarga besarnya. Ia menikmati masa kecilnya dengan belajar dan bermain bersama saudara-saudaranya. Dia dan saudara-saudaranya setiap malam habis maghrib belajar agama kepada ayahnya, Muhyidin. Mulai Menuntut Ilmu Pada umur 10 (sepuluh) tahun, Syekh Mas’ud dikirim ayahnya ke Desa Sarwadadi Kawunganten untuk belajar al-Qur’an kepada Kyai Hanafi, kurang lebih selama dua tahun. Kemudian meneruskan belajar ke Mojosari, Kebumen. Syekh Mas’ud tekun mempelajari dan menghafal Kitab Alfiyah Ibn Malik kepada kyai Badrudin selama empat tahun. Setelah dia selesai menghafalkan dan memahami Alfiyah dengan baik. Syekh Mas’ud melanjutkan belajar di Pondok Pesantren Al-Ikhsan Jam...